MAKALAH
SOSIOLOGI
AGAMA
Makalah
ini diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah sosiologi agama
oleh dosen pengempu Hemlan Elhany,
M.Ag.
Kelompok 1
Kpi A
NAMA
|
NPM
|
AGUS SETIAWAN
|
1503060061
|
AFIFFUDIN
|
1503060060
|
DINI FAUZIAH
|
1503060072
|
HENI CAHYANI
PUTRI
|
1503060081
|
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN
ISLAM (KPI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
1437 H / 2016 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan
kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada
waktunya.
Penulisan
dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai Sosiologi Agama. Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai
hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang
berkenan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami
berterima kasih kepada dosen pengempu
bapak Hemlan
Elhany, M. Ag yang telah
memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami
menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha
semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan
disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun
agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan
kami, makalah ini dapat menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa
depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang
membacanya.
Metro, 15 September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................... 1
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 2
A.
Definisi Islam dan Agama....................................................................................... 2
B. Islam Sebagai Sebuah Agama................................................................................. 5
C. Islam Sebagai Kajian Ilmiah.................................................................................... 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. 11
A. Simpulan................................................................................................................. 11
B. Saran………………………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw
diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera di dunia
dan akherat. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya
manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya
kita sering melihat cara yang bermacam-macam, antara satu dengan lainnya tidak
saling berjumpa.
Namun, seiring dengan banyaknya ilmu yang membahas
tentang agama Islam jurtru banyak fenomena yang berkembang di masyarakat, itu
pun mengacu pada perkembangan yang agaknya menyimpang dari Islam itu sendiri.
Dihadapkan fenomena ini, kami mencoba untuk mengulas kajian agama secara lebih
konfrehensif. Namun, hal ini tentunya membutuhkan metodologi yang sesuai dengan
gejala-gejala agama yang berkembang di mayarakat dari sudut pandang yang
berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
definisi agama dan ilmu?
2.
Bagaimana
Islam sebagai sebuah agama?
3.
Bagaimana
Islam sebagai sebuah kajian ilmiah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
definisi Agama dan Ilmu.
2.
Memahami
Islam sebagai sebuah agama.
3.
Memahami
Islam sebagai sebuah kajian ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Agama dan Ilmu
Agama merupakan sebuah kata yang sangat familiar
dengan pendengaran kita. Istilah agama nampaknya sudah menyatu dan tak
terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara
universal. Kita sering menggunakan istilah “agama” dalam kehidupan sehari-hari,
seperti: agama Islam, agama Kristen, kehidupan beragama, toleransi agama, dan
sebagainya. Namun, ketika kita bertanya tentang apa sebenarnya agama itu, atau
apa definisi agama itu, ternyata kita merasa kesulitan, dengan kata lain kita
tidak bisa mendapatkan definisi yang pas dan bisa diterima oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. H. A.
Mukti Ali, “barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan
definisi selain dari kata agama”. Pernyataan ini didasarkan pada tiga
argumentasi. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batini,
subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada
orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama,
karena itu membahas arrti agama itu selalu ada emosi yang kuat sekali, sehingga
sulit memberikan arti kata agama itu; dan ketiga, konsepsi tentang agama
dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberi definisi tersebut.[1]
Dengan demikian terdapat banyak sekali
definisi-definisi yang pernah dibuat orang tentang agama. Karena setiap orang
yang mendefinisikan agama memiliki cara yang berbeda dalam memahami agama. Dan
juga, hal ini dikarenakan pengalaman beragama adalah subyektif, intern, dan
individual, dimana seseorang akan merasakan pengalaman yang berbeda dengan
orang lain. Pemaparan diatas sengaja kami kemukakan terlebih dahulu agar sejak
awal kita tidak memiliki anggapan bahwa pengertian yang diberikan seorang ahli
lebih baik dari pada pengertian yang lain.
Secara umum agama memang menyangkut hubungan manusia
dengan sesuatu yang mutlak dan ghaib, sedangkan kemampuan berfikir manusia
terbatas. Di sisi lain agama juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia
dan masyarakat, yang kemudian menjelama menjadi gejala-gejala yang bervariasi
yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu a yang berarti tidak, dan gama yang berarti
kacau, pergi, kocar-kacir. Jadi, kata agama dapat diartikan ttidak pergi, tidak
kacau, dan/atau teratur. Definisi ini mengindikasikan bahwa agama merupakan
kepercayaan yang menjadikan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta
mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan bagi manusia.[2]
Ada juga yang berpendapat bahwa agama berasal dari kata gam yang berarti
pergi, tetapi kemudia mendapatkan awalan dan akhiran a. Setelah mendapat
awlan dan akhiran a menjadi agama, artinya menjadi: jalan. Yang
dimaksud jalan disini adalah jalan hidup.
Dengan demikian pengertian etimologis dari kata agama
mengandung arti yang bersifat mendasar yang dimiliki oleh berbagai agama,
yaitu bahwa agama adalah jalan, jalan hidup; atau jalan yang harus ditempuh
oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini; jalan yang mendatangkan
kesejahteraan dalam kehidupan yang teratur, aman, tentram, sebagaimana makna
umum yang ada pada berbagai agama.
Di sisi lain ada beberapa istilah lain dari agama
yaitu religi dan ad-dien. Religi berasal dari bahasa Latin, yang
berasal dari kata relegere atau relegare. Kata relegere berarti
mengumpulkan dan membaca.[3]
Hal ini sesuai dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara beribadah
kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Sedangkan relegare
berarti mengikat,[4]
hal ini memang sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang mengikat manusia dengan
Tuhannya. Sedangkan ad-dien berasal dari bahasa Arab dari kata dasar دَانَ , yang arti dasarnya adalah “hutang”,
sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa
Arab, kata دِÙŠْÙ†ُ berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian kata tersebut
menunjukkan pengertian agama sebagai undang-undang atau hukum yang harus
ditunaikan oleh manusia.
Sedangkan secara terminologisnya agama dapat diartikan
sebagai aturan atau undang-undang hidup yang ditetapkan oleh Tuhan yang
mengatur tatacara pengabdian/ibadah manusia terhadap Tuhannya yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan tetap sesuai dengan fitrah dan
tujuan penciptaan, yang nantinya akan membawa manusia kepada kehidupan yang
teratur dan sejahtera dunia dan akhirat.
Sedangkan ilmu menurut kamus Besar Bahasa
Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
itu; atau pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat,
lahir, batin, dan sebagainya.
Kata ilmu (science) dalam bahasa Arab "ilm" yang
berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu
pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat
berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Sedangkan pengetahuan (knowledge)
adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya kenyataan ke dalam
jiwa hingga tidak ada keraguan terhadap sesuatu.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu
merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada
persyaratan ilmiah sesuatu
dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Pertaama, Objektif.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang
sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya.
Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara
tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif
berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Kedua, Metodis. Metodis
adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Ketiga, Sistematis.
Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
Keempat, Universal.
Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya
universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial
menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan
ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk
mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks
dan tertentu pula.
B. Islam
sebagai Agama
Islam merupakan nama yang yang memang diberikan Allah
swt. kepada sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak seperti
agama yang lain, islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan nama pendiri atau
pembawanya. Misalnya agama Budha karena pendirinya adalah Budha Gautama,
Kristen karena tokoh yang mendirikannya adalah Nabi Isa atau Yesus yang
bergelar Al-Masih atau Kristus. Islam juga bukan berdasarkan nama tempat
munculnya sebuah agama. Misalnya agama Hindu yang muncul di India, Hindia atau
Hindustan. Islan juga bukan nama sebuah bangsa dimana sebuah agama lahir.
Misalnya agama Yahudi yang lahir di kalangan bangsa, suku atau dinasti Yehuda
atau Yuda. Dan Islam juga bukan nama tempat lahir pendiri sebuah agama.
Misalnya agama Nasrani yang berdasarkan tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu
Nazareth di Palestina.
Sebagai mana firman Allah swt. dalam surat al-Maidah
ayat 3.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi
agamamu”.
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa Islam
merupakan nama khusus yang diberikan Allah swt. kepada sebuah agama yang dibawa
oleh rasul-Nya. Sebenarnya Islam bukan merupakan agama baru karena Islam
merupakan agama yang juga telah diturunkan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul
sebelumnya. Dengan demikian, pemakaian nama “Mohammedanisme” untuk menunjukkan
agama Islam sebagaimana banyak ditulis oleh para penulis Barat (Orientalist)
bukan hanya “salah” tetapi juga mengandung “penghinaan”.
Pamakaian nama tersebut diklaim salah karena Muhammad
bukanlah orang yang membuat atau mendirikan agama Islam, tetapi pembuatnya
adalah Allah swt. Muhammad hanyalah sebagai pembawa, penyampai apa yang
diajarkan oleh Allah swt. Dikatakan penghinaan karena Mohammedanism mengandung
arti bahwa Islam itu berpusat pada Muhammad, manusia, bukan Tuhan. Lain halnya
dengan pemakaian nama Kristen untuk agama yang dibawa oleh Isa bin Maryam
(Yesus) karena pemeluk agama Kristen sendiri yang menyatakan keimananya kepada Isa
al-Masih sebagai Tuhan mereka.
Islam secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu
dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai.[5]
Yang selanjutnya diubah bentuk aslama yang berarti berserah diri dalam
kedamaian. Dengan demikian dapat dikatakan hakikat dari agama Islam adalah
berserah diri kepada Tuhan. Hal ini tidak hanya menjadi sebuah ajaran Tuhan
Kepada hambanya, akan tetapi Islam diajarkan sebagai pemenuhan fitrah manusia
yang butuh akan agama. Sehingga pertumbuhannya dan perwujudannya pada manusia
selalu bersifat intern, bukan merupakan paksaan dari luar. Karena seandainya
ada unsur paksaan maka menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan
dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.
Sedangkan Isalam secara terminologis merupakan sebuah
agama yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada rasulnya untuk disampaikan kepada
masyarakat. Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah wahyu, dan bukan
merupakan sebuah agama yang dibuat oleh Muhammad yang hanya sebagai penyamapai
dan penjelas risalah-risalah Tuhannya. Namun keterlibatannya masih dalam
batas-batas yang dibolehkan Tuhan.[6]
Dilihat dari segi ajarannya, Islam memiliki dua sumber
hukum utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat segala hal yang ada di
dunia dan akhirat. Dengan kata lain Islam merupakan agama yang kompleks. Hal
ini dapat dilihat dari luasnya cakupan ajaran agama Islam, diantaranya adalah
dalam bidang agama, ibadah, akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial,
kehidupan ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu, dan
sebagainya. Maka dengan demikian tidak cukup apabila kita hanya menelaah atau
mengkaji agama –Islam- dengan menggunakan satu metode pendekatan.
C. Agama sebagai Kajian Ilmiah
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang
harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam
kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis, dirinya
juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang
pertama agama dipandang sebagai hal yang bersifat normatif-doktriner, sementara
yang kedua sebagai gejala budaya dan sosial. Dengan mengetahui hal ini,
setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek
kajiannya dari agama.
Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian
yang menempatkan agama sebagai sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis
berarti agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin
terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dalam membahas agama -Islam- sebagai
objek kajian, akan dibahas hal-hal sebagai berikut; Agama sebagai wahyu, dan
agama sebagai gejala budaya dan sosial.
a. Agama
sebagai Wahyu
Agama –Islam- biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallama
lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islama adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat).[7]
Jadi, intinya adalah Islam merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa wahyu terdiri atas dua
macam: wahyu yang berbentuk Al-Qur’an, dan wahyu yang berbentuk hadits, sunnah
Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang kompleks.
Maksudnya, Al-Qur’an memuat berbagai macam persoalan-persoalan yang ada di
sekitarnya. Sehingga untuk memahami, mempelajari, mengerti, mengkaji Al-Qur’an
memerlukan ilmu yang kompleks juga. Hal ini bertujuan agar pemahaman kita
terhadap Al-Qur’an lebih bersifat komprehensif. Hal inilah yang kemudian
melahirkan Ulumul Qur’an.
Dalam studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran
Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan bagaimana membaca
Al-Qur’an, mengapa cara membacanya seperti itu, berapa macam jenis bacaan itu,
apa sesungguhnya yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, apa maksud ayat
itu, dan lain sebagainya. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang
merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, yang menjadi
persoalan selanjutnya, jika dahulu dipahami seperti itu, apakah sekarang masih
harus dipahami sama seperti itu atau perlu pemahaman baru?
Dalam ilmu tafsir misalnya, sebuah studi
tekstual dan kontekstual tentang Al-Qur’an. Sekarang sudah ada juga studi
hermeneutika Al-Qur’an. Apa itu hermeneutika Al-Qur’an dan bagaimana
penerapannya dalam Islam? Hal ini memang baru dan mungkin masih belum dikenal
oleh para mufassir terdahulu. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah
studi interdisipliner tentang Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dengan
kekomplekannya tidak hanya berbicara mengenai teologi, ibadah, norma-norma,
tetapi juga berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Jadi
ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya perlu juga dipelajari untuk
memahami isi kandungan Al-Qur’an secara komprehensif.
Islam sebagai wahyu tercermin dalam hadits-hadits Nabi
Muhammad saw. Seperti halnya Al-Qur’an, terdapat berbagai macam persoalan yang
ada di sekitar hadits. Sebagaimana yang terdapat dalam buku hadits pertama, Al-Muwattha’,
hanya memuat sekitar 700 hadits. Sedangkan selanjutnya berjumlah sekitar 4000
hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari, 6000 hadits oleh Imam
Muslim, dan 8500 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan kemudian ada hadits shohih, hadits hasan,
hadits mutawatir, hadits ahad, hadits mashur, dan lain-lain. Inilah yang dapat
kita jadikan kajian. Misalnya lagi Imam Muslim yang tadinya sudah mengumpulkan
sekitar 300.000 hadits, tetapi setelah diseleksi menjadi hanya sekitar 6000
hadits. Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kita dapat meneliti rijalul
haditsnya, matan, atau perawi hadits tertentu. Kita juga dapat melihat
buku-buku syarah hadits. Wilayah-wilayah inilah yang bisa kita jadikan kajian.
Tetapi tentunya dalam mengkaji hal yang tidak sederhana ini, kita memerlukan
metodologi studi yang memadai, misalnya dengan studi hemeneutika dan historical
criticism. Dan tidak bisa hanya mencukupkan pada metode teologis-normatif
saja dalam mengkaji agama yang begitu kompleks tersebut.
b. Agama
sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda tetapi
tidak mungkin dipisahkan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan
mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Sebaliknya sebuah
kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana
kebudayaan itu berkembang. Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah
individu tetapi agama juga merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya
orang yang beragama tidak hanya sekedar mampu melahirkan keshalehan individual
tetapi juga harus mampu melahirkan keshalehan sosial.
Semula hanya ada dua ilmu yaitu ilmu kealaman dan ilmu
budaya. Kedua ilmu ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ilmu kealaman
berangkat dari tanda-tanda keteraturan yang terjadi di alam raya, suatu
penemuan atas gejala alam pada saat yang lain juga akan menghasilkan hal yang
sama (tetap). Sebagai contoh air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih
rendah, benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah dan gejala alam lainnya.
Apabila suatu saat dua hal tersebut diteliti lagi maka hasilnya akan cenderung
sama karena adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan ilmu budaya
mempunyai sifat tidak berulang tetapi unik.[8]
Seperti contoh perayaan sekaten bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta,
Grebeg tanggal 10 Dzulhijah bagi masyarakat Demak, Dugderan menjelang ramadhan
bagi masyarakat Semarang, Apeman bagi masyarakat Pekalongan dan lain-lain.
Keunikan peringatan tersebut bukan karena pengulangannya. Ilmu sosial posisinya
berada di antara ilmu kealaman dan ilmu budaya yang berusaha memahami
gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya.
Sehingga dari keobjektivannya ilmu sosial mengalami problem, yaitu benarkah
hasil peneletian sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya?
Untuk menjawab pertnyaan ini terdapat dua pandangan. Pertama, ilmu
sosial lebih dekat kepada ilmu budaya yang bersifat unik, misalnya penelitian
antropologi sosial. Kedua, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman,
karena fenomena sosial dapat berulang dan dapat dites kembali. Misalnya
pemberian stimulan pada suatu kelompok yang kemudian akan memberikan sebuah
reaksi sebagai sebuah gejala sosial, dan hal ini dapat terjadi pada kelompok
lain dengan stimulan yang sama. Maka ada ilmu statistik yang mengukur
gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan baku.
Ada lima bentuk gejala yang harus diperhatikan ketika
kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah,suber
ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan
pemuka agama, yakni sikap, peilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, puasa, haji
perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja,
lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan
tempat para penganut agama berkumpul dan peran, seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan lain-lain.[9]
Maka dengan uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa
agama dan pemeluknya merupakan satu kesatuan yang sangat saling memengaruhi
satu sama lain. Di sisi lain manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai
makhluk sosial dan berbudaya. Dengan demikian kita tidak cukup megkaji agama
dengan pendekatan doktriner-normatif saja, tetapi dalam hal ini kita juga perlu
memperhatikan aspek-aspek lainnya. Maka kita dapat menggunakan pendekatan yang
lain seperti pendekatan sosiologis, pendekatan kebudayaan/humaniora, pendekatan
antropologis dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian agama Islam merupakan satu segi dari ilmu
Islam atau studi Islam. Studi Islam adalah pengkajian terhadap ilmu yang
diperlukan seorang muslim dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya.
Cakupan studi Islam yang begitu luas maka penelitian sebuah agama merupakan hal
yang perlu guna mendapatkan keobyektifan dalam memandang sebuah agama. Agama
sebagai gejala budaya dan sosial dapat didekati secara kualitatif dan secara
kuantitatif. Pendekatan kepada sebuah agama akan ditentukan oleh dari sudut
mana agama itu didekati (antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis,
psikologis, sosiologis atau teologis). Agama sebagai subyek penelitian di
dalamnya memiliki tiga kategori yakni agama sebagai doktrin, struktur dan agama
sebagai dinamika masyarakat. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya
masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan
apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis,
empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk
sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para
peneliti tertentu yang jumlahnya masih sangat terbatas.
B. Saran
Dengan selesainya pembahasan makalah ini dihapkan ada
kesadaran ilmiyah seiring dengan perkembangan zaman dan faham yang kita jumpai
disekitar kita. Dan mempunyai kesadaran akademis dalam menyikapi `dan
memecahkan fonomena perbedaan. Kami yakin dalam pembahasan makalah ini pasti
ada pembahasan yang jauh dari kesempurnaan untuk itu kami minta tema teman
khususnya bapak pemegang studi psi untuk memberi saran maupin kritikan yang
dapat membangunkan kami.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdullah, M.
Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
·
Mu’in, Abd.
Taib Khair. Ilmu Mantiq. Jakarta: Widjaya. 1987.
· Mudzhar, M.
Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2004.
·
Mundiri. Logika.
Jakarta: Raja Grafindo. 1994.
·
Nata,
Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1998.
·
Tadjab,
Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya
Abditama. 1994.
[1]
A. Mukti Ali. Universalitas dan Pembangunan. (Bandung: IKIP Bandung, 1971),
hlm. 4
[2]
Tadjab, Muhaimin, dan Mujib, Abd.
Dimensi-Dimensi Studi Islam. (Surabaya: Karya Abditama 1994) hlm. 37.
[3]
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998). Hlm.
10.
[4]
Ibid
[5]
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998). Hlm.
61.
[6]
Ibid. Hlm. 65.
[7]
M. Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004) cet. VI. Hlm. 19.
[8]
Ibid. Hlm. 12.
[9]
Ibid. Hlm. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar