Flaming Pointer
Flaming Pointer
Flaming Pointer

Kamis, 19 April 2018

MAKALAH USHUL FIKIH "IJTIHAD"


MAKALAH USHUL FIKIH
IJTIHAD
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fikih
Dosen Pengempu : Hamdi Abdul Karim, S.IQ. M.Pd.I



Di susun oleh
KPI A SEMETER VI
KELOMPOK IV
Heni Cahyanti Putri       1503060081


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM (KPI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
1439 H / 2018 M

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendak-Nya makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fikih. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai ushul fikih. Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pengempu bapak Hamdi Abdul Karim, S.IQ. M.Pd.I yang telah memberikan limpahan ilmu berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan kami, makalah ini dapat menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.

Metro,   April 2018
             

    Penulis


DAFTAR ISI


Judul
Kata Pengantar........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
A. pengertian Ijtihad...................................................................................... 3
B. sejarah dan Perkembangan Ijtihad............................................................. 4
C. Ruang Lingkup Ijtihad.............................................................................. 5
D. Dasar Hukum Ijtihad................................................................................. 5
E. Fungsi dan Manfaat Ijtihad....................................................................... 7
F. Macam-macam Ijtihad............................................................................... 7
G. Hukum Berijtihad...................................................................................... 9
H. Mujtahid.................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................................. 13
A.Kesimpulan................................................................................................ 13
B.Saran........................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Ushul fiqh berasal dari dua kata , yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (    اصل   ) yang artinya kuat (rajin),pokok,sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Kalau ada pokok pasti ada cabang,sesuatu yang berada di bawah pokok tersebut dinamai far’un (     فرع   ) = cabang . perkataan ushul fiqih ini sering juga di sebut dengan mushtahab, yatu sesuatu yang menyertai sesuatu yang telah ada.
Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’. Usul fiqh itu juga berupa qaidah-qaidah dan pembahasan-pembahasan yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnyayang bersifat amaliah dan diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam rumusan lain. Ushul fiqh adalah pembahasan tentang dalil yang dapat menunjukkan kepada sesuatu hukum secara ijmal (garis besar) yang masih memerlukan keterangan dengan menggunakan qaidah-qaidah tertentu.
Dalam ruang lingkup ushul fiqh, kita akan mempelajari sumber-sumber hukum dalam Islam. Tidak hanya Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena sekarang kita memasuki zaman modern, sebuah zaman dimana situasi dan kodisi sudah berbeda dengan terdahulu. Terdapat berbagai masalah-masalah baru muncul di zaman sekarang, oleh karena itu diperlukan ijtihad untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah bariu yang muncul. Untuk itu penulis akan membahas tentang ijtihad. Apa itu ijtihad dana bagaimana cara pelaksanaannya serta semua hal terkait akan dibahas dalam makalah ini.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari ijtihad ?
2.      Bagaimana fungsi dan manfaat dari ijtihad ?
3.      Bagaimana sejarah dan perkembangan ijtihad ?
4.      Apasaja macam-macam ijtihad ?
5.      Apa dasar hukum dari ijtihad ?
6.      Apa syarat-syarat dari mujtahid ?
  1. Tujuan Penulisan
Mengetahui semua hal terkait dengan ijtihad, baik itu sejarah, pengertian secara terminologi dan etimologi, hukum berijtihad, syarat-syarat mujtahid, lalu fungsi dan menfaat dari ijtihad itu sendiri.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad  dilihat dari bahasa Arab ialah dari kata al-jahdu dan al-juhdu. Harun Nasution mengatakan bahwa kata tersebut berarti “daya upaya” atau “usaha keras”[1]. Secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.
Secara terminologi ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkapkan kejelasan hukum islam atau maksudnya  untuk menjawab dan menyelesaikan permasalahn-permasalahan yang muncul.
Mendudukan ijtihad sebagai sumber ajaran islam tentu tidak bisa disejajarkan dan diperlakukan sama dengan dua sumber pokok lainnya. Ijtihad lebih tepat dikatakan sebagai sumber kekuatan, alat, atau cara untuk meneropong dua sumber pokok itu dalam kaitannya tentang fenomena-fenomena kehidupan.
Melihat karakteristik dua sumber pokok ajaran islam itu, yaitu Alquran dan Sunnah Rasul, yang bersifat umum, abadi, dan menyeluruh, terlebih-lebih di abad modern ini. Dimana laju kehidupan berjalan dengan sangat cepat. Ijtihad mampu mengantisipasi permasalahan-permasalahan dan memberikan makna-makna esensial pada kehidupan dengan tetap berdasar dan hanya mengagungkan Alquran dan Sunnah Rasul.[2]
Beberapa pengertian ijtihad menurut para ahli :
1.      Ibnu Abd al-Syakur dari kalangan hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai, pengerahan segala kemampuan untuk mengemukakan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat  zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasa tidak bisa lagi berupata lebih dari itu.
2.      Al- badawi (w.685 H.) ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah, ijtihad adalah pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’
3.      Abu Zahrah (abad XX) ahli ushul fikih, ijtihad adalah pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.
4.      Ibrohim Hosen, ijtihad ialah pengerahan segala kemampuan dan kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit[3].
Jadi ijtihad adalah pengerahana segala kemampuan atau kesanggupan dari seorang ahli fikih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syarak. Hukum syarak menunjuk pada ijtihad yang hanya berlaku  di bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran.[4]

B.     Sejarah dan perkembangan ijtihad
Ijtihad muncul bukan hnaya di khulafaurraisyidin dan generasi selanjutnya, akan tetapi sejak zaman Nabi Muhammda SAW. Hidup, ijtihad ada. Sebagaimana terungkap dalam peristiwa salah ashar di Bani Quraidah. Sebuah hadis terkenal menyebutkan, ketika Mu’az bin Jaabal diangkat Nabi sebagai hakim di Yaman, kepadanya ditanyakan “ bagaimana sikap kamu dalam mengambil keputusan jika dihadapkan  sebuah persoalan hukum? “Mu’az menjawab : “ akan aku putuskan berdasarkan kitabullah,” Nabi bertanya : “akan akuputuskan berdasarkan sunnah Rasulullah”, Nabi kemudian berkata: “ jika tidak kamu dapati?” , “ aku akan berijtihad sekuat semampuku,”jawab Mu’az[5]. Jawaban Mu’az tersebut diakui dan dipuji oleh Nabi. Hadis ini populer dan sanadnya baik, antara lain Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, Ibnu Katsir, Az-Zhahabi, dan lain-lain.
Dalam kasus yang banyak terjadi tanpa sepengetahuan Nabi, para sahabat sering kali melakukan ijtihad sendiri kemudian ia melaporkan kepada Nabi. Ijtihad yang mereka lakukan ada yang dibenarkan ada pula yang dianggap keliru.
Setelah nabi muhammad wafat, para sahabat tetp melakukan ijtihad. Mereka sering kali menghadapi kasus-kasus baru di dalam masyarakat, terutama dalam masalah masyarakat yang sudah maju.penyelesaannya dilakukan berdasarkan kerangka Islam melalui teks-teks atau petunjuk umum syriat Islam. Karena setiap permasalahan yang muncul selalu mendapat jawaban dari Islam. Meskipun itu sebuah penyakit, pasti ada obatnya.
Adanya keputusan hukum yang dikemukakan oleh mereka dapat dilihat dari berbagai segi yaitu : dari fikih, politik, akidah, tasawuf, maupun filsafat.[6]

C.     Ruang lingkup ijtihad
Secara garis besar hukum islama dibagi menjadi 2 bagian:
1.      Al-qathiyyat
Yaitu hukum-hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil yang tegas dan kongkrit, tidak mungkar. Hukum-hukum seperti ini dfisepakati oleh para ahli dan kaum muslimin. Al-qathiyyat dibagi menjadi tiga bidang antara lain :
a.       Bidang akidah (keyakinan) dan semua persoalan terkait dengannya. Contohnya, Tuhan itu Maha Esa,  Alquran adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad.
b.      Bidang amaliyah (praktek) dari akidah tadi ketentuan bidang ini ditegaskan secara kongkrit oleh syari’ (Allah dan Rasul-Nya) sendiri. Contohnya adalah bilangan shalat wajib (fardhu) , puasa pada bulan ramadhan, zakat dll.
c.       Bidang kaidah-kaidah hukum yang diambil dari syariat Islam baik melalui teks-teks yang kongkrit maupun melalui penelitian yang cermat dan menyeluruh terhadap hukum-hukum yang ada didalamnya. Contohmya, ad-Dinu yusr wa Raf ‘al harj yaitu agama itu mudah dan meniadakan kesulitan. Kaidah ini diambil dari firman Allah surah Alhajj: 78.
2.      Az-Zhaniyat dibagi dalam tiga hal yaitu :
a.       Bidang pemikiran theologi (ilmu kalam), ia tidak sama  dengan “aqh-id (bentuk jamak akidah, pen).
b.      Bidang amaliyah.
c.       Bidang kaidah-kaidah mazhab.

D.    Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad, diantaranya :
1.      Surah An-nisa (4) ayat 59 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ada dalam Alquran dan hadis (as-sunnah Rasulullah) seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya. Menurut Ali Hasaballah perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Alquran dan sunnah Rasulullah adalah sebuah peringata agar kita tidak mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan kita untuk kembali kepada Allah dan sunnah-Nya dengan jalan Ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis yang tidak mudah dijangkau kandungan isinya.
2.      Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal
Ketika ia diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah atas dasar apa ia memutuskan hukum sebuah persoalan, ia menjelaskan berurutan, yaitu dengan Alquran, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasululllah mengatakan: “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulllah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.[7] Hadis tersebut ialah
Artinya : dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az : “atas adasar apa anda memutuskan suatu persoalan? Mu’az : “dasarnya adalah kitab Allah.” Nabi bertanya : “kalau anda tidak temukan dalam Kitab Allah?” Dia menjawab : “dengan dasar sunnah Rasulullah SAW.’ Beliau bertanya kembali : “ kalau tidak ditemukana dalam Sunnah Rasulullah SAW?”  Mu’az menjawab: “aku akan berijtihad dengan penalaranku.” Maka Nabi berkata: “ segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR. Tirmizi)

E.     Fungsi dan Manfaat Ijtihad
Beberapa fungsi ijtihad adalah :
1.      Untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad (hadis-hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir),
2.      Sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung bisa dipahami kecuali dengan ijtihad,
3.      Untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Alquran dan sunnah seperti  dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Manfaat Ijtihad
1.      Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu berkembang dan mampu menjawab tantangan.
2.      Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu dan keadaan
3.      Menetapkan fatwa terhadap  permasalah-permasalah yang tidak terkait dengan halal atau haram.
4.      Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang belum ada hukumnya secara islam.

F.      Macam-Macam Ijtihad
Ditinjau dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
1.      Ijtihad fardi
Adalah setiap ijtihad yang belum memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya. Adanya ijtihad inibisa dikaji dari hadist Rasulullah SAW, yang berkenaan dengan pembenaran beliau terhadap jawaban mu’adz bin jabal. Yaitu ketika ia menjawab bahwa akan melakukan ijtihad apabila tidak menemukan hukumnya di dala Alquran dan sunnah. Maka ia akan melakukan ijtihad sendiri dan ternyata Rasulullah membenarkannya.
2.      Ijtihad jama’i
Adalah setiap ijtihad yang telah mendapatkan persetujuan dari mujtahid lainnya. Keberadaan ijtihad jama’i ini bisa dikaji dari hadist yang diterima dari ali bin abi thalib. Ia bertanya kepada Rasulullah : ya rasulullah , sesuatu terjadi pada kita dan tidak menemukannya didalam Alquran dan sunnah? Rasul menjawab : kumpulkan orang-orang yang alim (ahli ibadah) dari kalangan orang-orang yang beriman, kemudian bermusyawarahlah diantara kamu dan janganlah kamu memutuskannya dengan pendapat seorang.
Ditinjau dari segi materinya, ada tiga macam ijtihad, yaitu:
1.      Menjelaskan hukum-hukum
Dalam masalah-masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia terdapat masalah yang sudah ada penegasan hukumnya dalam Alquran dan Hadis. Dalam hal ini para mujtahid hanya dapat melakukan empat hal yaitu:
a.       Ia mengungkap secara cermat hakikat hukum itu dalam kaitannya dengan kenyataan.
b.      Memberikan batasan pengertian dan maksud itu.
c.       Menjelaskan situasi dan kondisi yang membutuhkan hukum itu.
d.      Menetapkan bentuk-bentuk pengaplikasian hukum itu dalam masalah-amasalah baru. Jika hukum itu bersifat global, maka berilah rincian sejelas mungkin.
2.      Qiyas
Qiyas dilakukan apabila menyangkut masalah-maslah yang tidak diemukan penegasan hukumnya dari Alquran dan Sunnah, akan tetapi ditemukan hukum-hukum untuk masalah  yang mempunyai persamaan dengan masalah tersebut.dalam hal ini, ijtihad harus berusaha untuk menemukan ‘illat ( alasan) yang menyebabkan adanya hukum tersebut. Kemudian memproyeksikan dan menerapkan hukum-hukum itu pada maslah-masalah (yang belum ditemukan hukumnya) yang memilih persamaa ‘illat dengannya, dan mengecualikan maslah-masalah yang tidak memilikinya.
3.      Istinbath[8]
Ini dilakukan apabila ada masalah-maslah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas atau jelas dari syara’, tetapi ditemukan dalam kaidah-kaidah  yang mengacu pada kebiasaan.dalam kassus seperti ini ijtihad berusaha mengungkap tuntutan dan tujuan syara’ berkenaan dengan kaidah tersebut. Menyangkut masalah-maslah praktisnya dibuat aturan-aturan yang berdiri diatas kaidah-kaidah itu di satu pihak, dan merealisasikan tujuan syara’  pihak lain.

G.    Hukum Berijtihad
Para ulama ushul fiqh, diantarnya al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa bilaman syarat-syarat tersebut telah terpenuhi pada diri seseorang, maka hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa  fardhu kifaya, bisa mandub (sunnah), dan bisa pula haram.
Ijtihad hukumnya  fardhu ‘ain (wajib dilakukan setiap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas) apabila :
1.      Terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Kemudian hasil ijtihad ini wajib diamalkan, ia pun boleh bertaklid kepada mujtahid lain.
2.      Apabila seseorang ditanya tentang suatu maslah yang sudah terjadi yang menghendaki segera mendapatkan jawaban tentang maslah hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Ijtihad hukumnya menjadi  fardhu kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana diantara mereka sudah ada yang melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntunan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
Berijtihad hukumnya sunah dalam dua hal :
1.      Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fikih pengandaian).
2.      Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Adapun berijtihad haram hukunya dalam dua hal, yaitu:
1.         Berijtihad dalam hal yang ada nash  yang tegas (qath’i) baik berupa ayat maupun hadis , atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma’.
2.         Berijtihad, tetapi mujtahidnya tidak sesuai, atau tidak melengkapi syarat-syarat sebagai mujtahid.

H.    Mujtahid
1.      Syarat-Syarat Mujtahid
Karena yang dimaksud ijtihad bukan menganti aturan Allah dengan aturan manusia, melainkan upaya memahami aturan Allah secara kompeherensif dan merealisasikan sistem islam sebagai aturan yang menjawab dan memenuhi segala tuntutan hidup, maka tidaklah mungkin muncul suatu ijtihad yang benar kecuali apabila para mujtahid (pelaku ijtihad) memiliki syarat-syarat. Menurut Abul ‘Ala Al Maududi mengatakan ada enam syarat, yaitu:
a.       Memiliki keimanan yang kuat terhadap syariat ilahiyah, yaitu:
1)      Berkeyakian teguh terhadap kebenaran dan kelurusannaya,
2)      Mempunyai tekat yang lebih untuk merealisasikannya,
3)      Tidak punya hati yang cenderung suka mengotak-atik ketentuan dan aturannya,
4)      Tidak suka mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
5)      Menguasai bahasa Arab, gramatika dan gaya penulisannya dengan baik, serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya, karena bahasa arab adalah sarana yang penting untuk mengungkap sunnah.
6)      Mengerti dan mendalami ilmu Alquran dan sunnah. Sehingga tidak hanya memahami hukum yang furu saja melainkan memahami kaidah-kaidah syara’ yang universal serta menyeluruh.
7)      Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli terdahulu. Ini adalah salah satu cara untuk melihat kesinambungan perkembangan hukum.
8)      Memiliki pengamatan yang cermat terhadap masalah-masalah kehidupan berikut situasi dan juga kondisinya. Sebab masalah dan kondisi-kondisinya lah yang menjadi tempat pengaplikasian hukum-hukum tersebut.
9)      Memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntutan islam. Karena banyak  oang yang tidak akan percaya dengan ijtihad bila dilaksanakan oleh orang-orang yang kurang baik.
Wahbah az-zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh mujtahid diantaranya :
1)      Mengetahui seluk beluk qiyas, baik itu syratnya, rukun-rukunnya, tentang ‘illat hukum, dan cara menemukan ‘illat dari ayat maupun hadis dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat Islam.
2)      Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah mansukh (yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah dan Rasul-Nya dan mana hadis yang me-na-sakh atau sebagai penggantinya. Hal ini bertujuan agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak berlaku.
2.      Tingkatan Mujtahid
Menurut Abu Zahra ada empat tingkatan mujtahid, yaitu :
a.         Mujtahid mustaqil (independent)
Adalah tingkat tertinggi, dan independen karena  mereka terbebas dari bertaklid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun furu’ (fikih hasil ijtihad). Contohnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Dan Imam Ahmad bin Hambal.
b.        Mujtahid muntasi
Yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia tetap mampu merumuskannya, namun tetap berpegang teguh terhadap ushul fiqh salah satu imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang teguh kepada Abu Hanifah.
c.         Mujtahid fi al-mazhab
Yaitu tingkatan mujtahid yang dalam  ushul fiqh  dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam mengistinbatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi berijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya. Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (260=340 H), Abu Ja’far al-Tahawi (230-321 H), dan al-Hasan bin al-Ziyad (w. 204       H) dari kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-Asfraini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.
d.        Mujtahid fi at-tarjih
Yaaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum tetapi sebatas memperbandingkan dengan berbagai mazhab atau pendapat, dan memiliki kemampuan untuk men-tarjih atau memilih pendapat terkuat  dari salah satu pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan  oleh para ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode itu, ia dapat melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi ijtihad adalah pengerahana segala kemampuan atau kesanggupan dari seorang ahli fikih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syarak. Hukum syarak menunjuk pada ijtihad yang hanya berlaku  di bidang fikih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran.
Ijtihad dilakukan oleh seorang ahli fikih dengan syarat-syarat dan ketentuan yang ada,  seorang ahli fikih itu dinamakan sebagai mujtahid. Selain itu mujtahid sendiri ada empat tingkatan Menurut Abu Zahra yaitu, Mujtahid mustaqil (independent), Mujtahid muntasi, Mujtahid fi al-mazhab dan Mujtahid fi at-tarjih.
Ditinjau dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i. Namun jika ditinjau dari segi materinya, ada tiga macam ijtihad, yaitu, menjelaskan hukum-hukum, Qiyas, dan Istinbath.
Hukum berijtihad itu ada empat, yaitu fardhu ‘ain, fardhu kifa’iyah, sunah dan haram.
B.     Saran
Dengan selesainya pembahasan makalah ini diharapkan ada kesadaran ilmiah seiring dengan perkembangan zaman dan faham yang kita jumpai disekitar kita. Dan mempunyai kesadaran akademis dalam menyikapi dan memecahkan fenomena perbedaan. kami yakin dalam  pembahasan makalah ini pasti ada pembahasan yang jauh dari kesempurnaan untuk itu kami minta teman-teman khususnya bapak pemegang studi ushul fikih untuk memberi saran maupun kritikan yang dapat membangunkan kami.



DAFTAR PUSTAKA


Syahidin. Moral Dan Kognisi Islam. Bandung: Alfabeta, 2009.
Satria Effendi M. Zein.  Ushul Fiqh. Jakarta : Kecana, 2017.
Munir, dan Sudarsono.  Aliran Modern dalam Islam. Jakarta: Rineka Cipta,  1994.
Hudari Bek. ushul al-fiki.  Beirut : Dar al Fikr, 1981.
Editor Tamu; Jalaluddin Rahmat “Ijtihad dalam sorotan” Mizan. Jakarta,1992.


[1] Editor Tamu; Jalaluddin Rahmat “Ijtihad dalam sorotan” Mizan, Jakarta,1992, h.108.
[2] Syahidin, Moral Dan Kognisi Islam, (Bandung:Alfabeta,2009),h. 87.
[3] Editor Tamu; Jalaluddin Rahmat “Ijtihad dalam sorotan” Mizan. h. 23.
[4]  Hudari Bek, ushul al-fikih, Beirut : Dar al Fikr, 1981. H. 367.
[5] Hadis Muadz ibn Jabal.
[6]  A. Munir, dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,  1994), h. 36-37.
[7] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kecana, 2017), h. 225-226.
[8] Syahidin, Moral Dan Kognisi Islam, (Bandung:Alfabeta,2009),h. 87-89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar