Flaming Pointer
Flaming Pointer
Flaming Pointer

Jumat, 27 April 2018

ABSTRAK USHUL FIKIH TENTANG IJTIHAD


A.    Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad  dilihat dari bahasa Arab ialah dari kata al-jahdu dan al-juhdu. Harun Nasution mengatakan bahwa kata tersebut berarti “daya upaya” atau “usaha keras”[1]. Secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.
B.     Sejarah dan perkembangan ijtihad
Ijtihad muncul bukan hnaya di khulafaurraisyidin dan generasi selanjutnya, akan tetapi sejak zaman Nabi Muhammda SAW. Hidup, ijtihad ada. Sebagaimana terungkap dalam peristiwa salah ashar di Bani Quraidah. Sebuah hadis terkenal menyebutkan, ketika Mu’az bin Jaabal diangkat Nabi sebagai hakim di Yaman, kepadanya ditanyakan “ bagaimana sikap kamu dalam mengambil keputusan jika dihadapkan  sebuah persoalan hukum? “Mu’az menjawab : “ akan aku putuskan berdasarkan kitabullah,” Nabi bertanya : “akan akuputuskan berdasarkan sunnah Rasulullah”, Nabi kemudian berkata: “ jika tidak kamu dapati?” , “ aku akan berijtihad sekuat semampuku,”jawab Mu’az[2]. Jawaban Mu’az tersebut diakui dan dipuji oleh Nabi. Hadis ini populer dan sanadnya baik, antara lain Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, Ibnu Katsir, Az-Zhahabi, dan lain-lain.
Dalam kasus yang banyak terjadi tanpa sepengetahuan Nabi, para sahabat sering kali melakukan ijtihad sendiri kemudian ia melaporkan kepada Nabi. Ijtihad yang mereka lakukan ada yang dibenarkan ada pula yang dianggap keliru.
Setelah nabi muhammad wafat, para sahabat tetp melakukan ijtihad. Mereka sering kali menghadapi kasus-kasus baru di dalam masyarakat, terutama dalam masalah masyarakat yang sudah maju.penyelesaannya dilakukan berdasarkan kerangka Islam melalui teks-teks atau petunjuk umum syriat Islam. Karena setiap permasalahan yang muncul selalu mendapat jawaban dari Islam. Meskipun itu sebuah penyakit, pasti ada obatnya.
C.     Ruang lingkup ijtihad
Secara garis besar hukum islama dibagi menjadi 2 bagian:
1.      Al-qathiyyat
Yaitu hukum-hukum yang ditetapkan oleh dalil-dalil yang tegas dan kongkrit, tidak mungkar.
2.      Az-Zhaniyat dibagi dalam tiga hal yaitu :
a.       Bidang pemikiran theologi (ilmu kalam), ia tidak sama  dengan “aqh-id (bentuk jamak akidah, pen).
b.      Bidang amaliyah.
c.       Bidang kaidah-kaidah mazhab.

D.    Dasar Hukum Ijtihad
Banyak alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad, diantaranya :
1.      Surah An-nisa (4) ayat 59 :
2.      Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal
Ketika ia diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah atas dasar apa ia memutuskan hukum sebuah persoalan, ia menjelaskan berurutan, yaitu dengan Alquran, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasululllah mengatakan: “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulllah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.[3]
E.     Fungsi dan Manfaat Ijtihad
Beberapa fungsi ijtihad adalah :
1.      Untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad (hadis-hadis yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir),
2.      Sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung bisa dipahami kecuali dengan ijtihad,
3.      Untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Alquran dan sunnah seperti  dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Manfaat Ijtihad
1.      Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap permasalahan baru yang dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu berkembang dan mampu menjawab tantangan.
2.      Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu dan keadaan
3.      Menetapkan fatwa terhadap  permasalah-permasalah yang tidak terkait dengan halal atau haram.
4.      Dapat membantu umat muslim dalam menghapi masalah yang belum ada hukumnya secara islam.

F.      Macam-Macam Ijtihad
Ditinjau dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
1.      Ijtihad fardi
Adalah setiap ijtihad yang belum memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya. Adanya ijtihad inibisa dikaji dari hadist Rasulullah SAW, yang berkenaan dengan pembenaran beliau terhadap jawaban mu’adz bin jabal. Yaitu ketika ia menjawab bahwa akan melakukan ijtihad apabila tidak menemukan hukumnya di dala Alquran dan sunnah. Maka ia akan melakukan ijtihad sendiri dan ternyata Rasulullah membenarkannya.
2.      Ijtihad jama’i
Adalah setiap ijtihad yang telah mendapatkan persetujuan dari mujtahid lainnya. Keberadaan ijtihad jama’i ini bisa dikaji dari hadist yang diterima dari ali bin abi thalib. Ia bertanya kepada Rasulullah : ya rasulullah , sesuatu terjadi pada kita dan tidak menemukannya didalam Alquran dan sunnah? Rasul menjawab : kumpulkan orang-orang yang alim (ahli ibadah) dari kalangan orang-orang yang beriman, kemudian bermusyawarahlah diantara kamu dan janganlah kamu memutuskannya dengan pendapat seorang.
Ditinjau dari segi materinya, ada tiga macam ijtihad, yaitu:
1.      Menjelaskan hukum-hukum
Dalam masalah-masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia terdapat masalah yang sudah ada penegasan hukumnya dalam Alquran dan Hadis. Dalam hal ini para mujtahid hanya dapat melakukan empat hal yaitu:
a.       Ia mengungkap secara cermat hakikat hukum itu dalam kaitannya dengan kenyataan.
b.      Memberikan batasan pengertian dan maksud itu.
c.       Menjelaskan situasi dan kondisi yang membutuhkan hukum itu.
d.      Menetapkan bentuk-bentuk pengaplikasian hukum itu dalam masalah-amasalah baru. Jika hukum itu bersifat global, maka berilah rincian sejelas mungkin.
2.      Qiyas
Qiyas dilakukan apabila menyangkut masalah-maslah yang tidak diemukan penegasan hukumnya dari Alquran dan Sunnah, akan tetapi ditemukan hukum-hukum untuk masalah  yang mempunyai persamaan dengan masalah tersebut.dalam hal ini, ijtihad harus berusaha untuk menemukan ‘illat ( alasan) yang menyebabkan adanya hukum tersebut. Kemudian memproyeksikan dan menerapkan hukum-hukum itu pada maslah-masalah (yang belum ditemukan hukumnya) yang memilih persamaa ‘illat dengannya, dan mengecualikan maslah-masalah yang tidak memilikinya.
3.      Istinbath[4]
Ini dilakukan apabila ada masalah-maslah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas atau jelas dari syara’, tetapi ditemukan dalam kaidah-kaidah  yang mengacu pada kebiasaan.dalam kassus seperti ini ijtihad berusaha mengungkap tuntutan dan tujuan syara’ berkenaan dengan kaidah tersebut. Menyangkut masalah-maslah praktisnya dibuat aturan-aturan yang berdiri diatas kaidah-kaidah itu di satu pihak, dan merealisasikan tujuan syara’  pihak lain.

G.    Hukum Berijtihad
Para ulama ushul fiqh, diantarnya al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa bilaman syarat-syarat tersebut telah terpenuhi pada diri seseorang, maka hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa  fardhu kifaya, bisa mandub (sunnah), dan bisa pula haram.
H.    Mujtahid
1.      Syarat-Syarat Mujtahid
Karena yang dimaksud ijtihad bukan menganti aturan Allah dengan aturan manusia, melainkan upaya memahami aturan Allah secara kompeherensif dan merealisasikan sistem islam sebagai aturan yang menjawab dan memenuhi segala tuntutan hidup, maka tidaklah mungkin muncul suatu ijtihad yang benar kecuali apabila para mujtahid (pelaku ijtihad) memiliki syarat-syarat. Menurut Abul ‘Ala Al Maududi mengatakan ada enam syarat, yaitu:
a.       Memiliki keimanan yang kuat terhadap syariat ilahiyah, yaitu:
1)      Berkeyakian teguh terhadap kebenaran dan kelurusannaya,
2)      Mempunyai tekat yang lebih untuk merealisasikannya,
3)      Tidak punya hati yang cenderung suka mengotak-atik ketentuan dan aturannya,
4)      Tidak suka mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
5)      Menguasai bahasa Arab, gramatika dan gaya penulisannya dengan baik, serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya, karena bahasa arab adalah sarana yang penting untuk mengungkap sunnah.
6)      Mengerti dan mendalami ilmu Alquran dan sunnah. Sehingga tidak hanya memahami hukum yang furu saja melainkan memahami kaidah-kaidah syara’ yang universal serta menyeluruh.
7)      Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli terdahulu. Ini adalah salah satu cara untuk melihat kesinambungan perkembangan hukum.
8)      Memiliki pengamatan yang cermat terhadap masalah-masalah kehidupan berikut situasi dan juga kondisinya. Sebab masalah dan kondisi-kondisinya lah yang menjadi tempat pengaplikasian hukum-hukum tersebut.
9)      Memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntutan islam. Karena banyak  oang yang tidak akan percaya dengan ijtihad bila dilaksanakan oleh orang-orang yang kurang baik.
2.      Tingkatan Mujtahid
Menurut Abu Zahra ada empat tingkatan mujtahid, yaitu :
a.         Mujtahid mustaqil (independent)
Adalah tingkat tertinggi, dan independen karena  mereka terbebas dari bertaklid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun furu’ (fikih hasil ijtihad). Contohnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Dan Imam Ahmad bin Hambal.
b.        Mujtahid muntasi
Yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia tetap mampu merumuskannya, namun tetap berpegang teguh terhadap ushul fiqh salah satu imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang teguh kepada Abu Hanifah.
c.         Mujtahid fi al-mazhab
Yaitu tingkatan mujtahid yang dalam  ushul fiqh  dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam mengistinbatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi berijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya. Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (260=340 H), Abu Ja’far al-Tahawi (230-321 H), dan al-Hasan bin al-Ziyad (w. 204       H) dari kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-Abhari (289-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-Asfraini (344-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.
d.        Mujtahid fi at-tarjih
Yaaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum tetapi sebatas memperbandingkan dengan berbagai mazhab atau pendapat, dan memiliki kemampuan untuk men-tarjih atau memilih pendapat terkuat  dari salah satu pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan  oleh para ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode itu, ia dapat melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.




[1] Editor Tamu; Jalaluddin Rahmat “Ijtihad dalam sorotan” Mizan, Jakarta,1992, h.108.
[2] Hadis Muadz ibn Jabal.
[3] Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kecana, 2017), h. 225-226.
[4] Syahidin, Moral Dan Kognisi Islam, (Bandung:Alfabeta,2009),h. 87-89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar