A.
Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad
dilihat dari bahasa Arab ialah dari kata al-jahdu dan al-juhdu. Harun
Nasution mengatakan bahwa kata tersebut berarti “daya upaya” atau “usaha keras”[1]. Secara etimologi berarti
bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.
B. Sejarah
dan perkembangan ijtihad
Ijtihad muncul bukan hnaya di khulafaurraisyidin dan
generasi selanjutnya, akan tetapi sejak zaman Nabi Muhammda SAW. Hidup, ijtihad
ada. Sebagaimana terungkap dalam peristiwa salah ashar di Bani Quraidah. Sebuah
hadis terkenal menyebutkan, ketika Mu’az bin Jaabal diangkat Nabi sebagai hakim
di Yaman, kepadanya ditanyakan “ bagaimana sikap kamu dalam mengambil keputusan
jika dihadapkan sebuah persoalan hukum?
“Mu’az menjawab : “ akan aku putuskan berdasarkan kitabullah,” Nabi bertanya :
“akan akuputuskan berdasarkan sunnah Rasulullah”, Nabi kemudian berkata: “ jika
tidak kamu dapati?” , “ aku akan berijtihad sekuat semampuku,”jawab Mu’az[2].
Jawaban Mu’az tersebut diakui dan dipuji oleh Nabi. Hadis ini populer dan
sanadnya baik, antara lain Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim, Ibnu Katsir, Az-Zhahabi,
dan lain-lain.
Dalam kasus yang banyak terjadi tanpa sepengetahuan
Nabi, para sahabat sering kali melakukan ijtihad sendiri kemudian ia melaporkan
kepada Nabi. Ijtihad yang mereka lakukan ada yang dibenarkan ada pula yang
dianggap keliru.
Setelah nabi muhammad wafat, para sahabat tetp
melakukan ijtihad. Mereka sering kali menghadapi kasus-kasus baru di dalam
masyarakat, terutama dalam masalah masyarakat yang sudah maju.penyelesaannya
dilakukan berdasarkan kerangka Islam melalui teks-teks atau petunjuk umum
syriat Islam. Karena setiap permasalahan yang muncul selalu mendapat jawaban
dari Islam. Meskipun itu sebuah penyakit, pasti ada obatnya.
C. Ruang
lingkup ijtihad
Secara
garis besar hukum islama dibagi menjadi 2 bagian:
1.
Al-qathiyyat
Yaitu hukum-hukum yang
ditetapkan oleh dalil-dalil yang tegas dan kongkrit, tidak mungkar.
2. Az-Zhaniyat
dibagi dalam tiga hal yaitu :
a. Bidang
pemikiran theologi (ilmu kalam), ia tidak sama
dengan “aqh-id (bentuk jamak
akidah, pen).
b. Bidang
amaliyah.
c. Bidang
kaidah-kaidah mazhab.
D. Dasar
Hukum Ijtihad
Banyak
alasan yang menunjukan kebolehan melakukan ijtihad, diantaranya :
1. Surah
An-nisa (4) ayat 59 :
2. Hadits
yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal
Ketika ia diutus ke
Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah atas dasar apa ia memutuskan hukum sebuah
persoalan, ia menjelaskan berurutan, yaitu dengan Alquran, kemudian dengan
Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasululllah mengatakan:
“segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulllah
dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.[3]
E. Fungsi
dan Manfaat Ijtihad
Beberapa
fungsi ijtihad adalah :
1. Untuk
menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir
seperti hadis ahad (hadis-hadis yang
belum memenuhi syarat-syarat mutawatir),
2. Sebagai
upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga
tidak langsung bisa dipahami kecuali dengan ijtihad,
3. Untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Alquran dan sunnah
seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Manfaat Ijtihad
1.
Dapat mengetahui hukumnya, dari setiap
permasalahan baru yang dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu
berkembang dan mampu menjawab tantangan.
2.
Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan
perubahan zaman, waktu dan keadaan
3.
Menetapkan fatwa
terhadap permasalah-permasalah yang tidak terkait dengan halal atau
haram.
4.
Dapat membantu umat muslim dalam menghapi
masalah yang belum ada hukumnya secara islam.
F. Macam-Macam
Ijtihad
Ditinjau
dari pelaksanaannya, ijtihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
1. Ijtihad
fardi
Adalah setiap ijtihad
yang belum memperoleh persetujuan dari mujtahid lainnya. Adanya ijtihad inibisa
dikaji dari hadist Rasulullah SAW, yang berkenaan dengan pembenaran beliau
terhadap jawaban mu’adz bin jabal. Yaitu ketika ia menjawab bahwa akan
melakukan ijtihad apabila tidak menemukan hukumnya di dala Alquran dan sunnah.
Maka ia akan melakukan ijtihad sendiri dan ternyata Rasulullah membenarkannya.
2. Ijtihad
jama’i
Adalah setiap ijtihad
yang telah mendapatkan persetujuan dari mujtahid lainnya. Keberadaan ijtihad
jama’i ini bisa dikaji dari hadist yang diterima dari ali bin abi thalib. Ia bertanya
kepada Rasulullah : ya rasulullah , sesuatu terjadi pada kita dan tidak
menemukannya didalam Alquran dan sunnah? Rasul menjawab : kumpulkan orang-orang
yang alim (ahli ibadah) dari kalangan orang-orang yang beriman, kemudian
bermusyawarahlah diantara kamu dan janganlah kamu memutuskannya dengan pendapat
seorang.
Ditinjau dari segi
materinya, ada tiga macam ijtihad, yaitu:
1. Menjelaskan
hukum-hukum
Dalam masalah-masalah
yang berkembang dalam kehidupan manusia terdapat masalah yang sudah ada
penegasan hukumnya dalam Alquran dan Hadis. Dalam hal ini para mujtahid hanya
dapat melakukan empat hal yaitu:
a. Ia
mengungkap secara cermat hakikat hukum itu dalam kaitannya dengan kenyataan.
b. Memberikan
batasan pengertian dan maksud itu.
c. Menjelaskan
situasi dan kondisi yang membutuhkan hukum itu.
d. Menetapkan
bentuk-bentuk pengaplikasian hukum itu dalam masalah-amasalah baru. Jika hukum
itu bersifat global, maka berilah rincian sejelas mungkin.
2. Qiyas
Qiyas dilakukan apabila
menyangkut masalah-maslah yang tidak diemukan penegasan hukumnya dari Alquran
dan Sunnah, akan tetapi ditemukan hukum-hukum untuk masalah yang mempunyai persamaan dengan masalah
tersebut.dalam hal ini, ijtihad harus berusaha untuk menemukan ‘illat ( alasan) yang menyebabkan adanya
hukum tersebut. Kemudian memproyeksikan dan menerapkan hukum-hukum itu pada
maslah-masalah (yang belum ditemukan hukumnya) yang memilih persamaa ‘illat dengannya, dan mengecualikan
maslah-masalah yang tidak memilikinya.
3. Istinbath[4]
Ini dilakukan apabila
ada masalah-maslah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas atau jelas dari syara’, tetapi ditemukan dalam
kaidah-kaidah yang mengacu pada kebiasaan.dalam kassus
seperti ini ijtihad berusaha mengungkap tuntutan dan tujuan syara’ berkenaan dengan kaidah tersebut.
Menyangkut masalah-maslah praktisnya dibuat aturan-aturan yang berdiri diatas
kaidah-kaidah itu di satu pihak, dan merealisasikan tujuan syara’ pihak lain.
G. Hukum
Berijtihad
Para ulama ushul
fiqh, diantarnya al-Tayyib Khuderi al-Sayyid, ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa bilaman
syarat-syarat tersebut telah terpenuhi pada diri seseorang, maka hukum
melakukan ijtihad baginya bisa fardhu
‘ain, bisa fardhu kifaya, bisa mandub (sunnah), dan bisa pula haram.
H. Mujtahid
1. Syarat-Syarat
Mujtahid
Karena
yang dimaksud ijtihad bukan menganti aturan Allah dengan aturan manusia,
melainkan upaya memahami aturan Allah secara kompeherensif dan merealisasikan
sistem islam sebagai aturan yang menjawab dan memenuhi segala tuntutan hidup,
maka tidaklah mungkin muncul suatu ijtihad yang benar kecuali apabila para
mujtahid (pelaku ijtihad) memiliki syarat-syarat. Menurut Abul ‘Ala Al Maududi
mengatakan ada enam syarat, yaitu:
a. Memiliki
keimanan yang kuat terhadap syariat ilahiyah, yaitu:
1) Berkeyakian
teguh terhadap kebenaran dan kelurusannaya,
2) Mempunyai
tekat yang lebih untuk merealisasikannya,
3) Tidak
punya hati yang cenderung suka mengotak-atik ketentuan dan aturannya,
4) Tidak
suka mengambil prinsip dan dasar dari sumber lain.
5) Menguasai
bahasa Arab, gramatika dan gaya penulisannya dengan baik, serta ilmu-ilmu bantu
yang berhubungan dengannya, karena bahasa arab adalah sarana yang penting untuk
mengungkap sunnah.
6) Mengerti
dan mendalami ilmu Alquran dan sunnah. Sehingga tidak hanya memahami hukum yang
furu saja melainkan memahami kaidah-kaidah syara’ yang universal serta
menyeluruh.
7) Mengetahui
produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli terdahulu. Ini
adalah salah satu cara untuk melihat kesinambungan perkembangan hukum.
8) Memiliki
pengamatan yang cermat terhadap masalah-masalah kehidupan berikut situasi dan
juga kondisinya. Sebab masalah dan kondisi-kondisinya lah yang menjadi tempat
pengaplikasian hukum-hukum tersebut.
9) Memiliki
akhlak yang terpuji sesuai dengan tuntutan islam. Karena banyak oang yang tidak akan percaya dengan ijtihad
bila dilaksanakan oleh orang-orang yang kurang baik.
2. Tingkatan
Mujtahid
Menurut Abu Zahra ada
empat tingkatan mujtahid, yaitu :
a.
Mujtahid
mustaqil (independent)
Adalah tingkat
tertinggi, dan independen karena mereka
terbebas dari bertaklid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (ushul fiqh) maupun furu’
(fikih hasil ijtihad). Contohnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Dan Imam Ahmad bin Hambal.
b.
Mujtahid
muntasi
Yaitu mujtahid yang
dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia tetap mampu
merumuskannya, namun tetap berpegang teguh terhadap ushul fiqh salah satu imam mujtahid
mustaqil, seperti berpegang teguh kepada Abu Hanifah.
c.
Mujtahid
fi al-mazhab
Yaitu tingkatan
mujtahid yang dalam ushul fiqh
dan furu’ bertaklid kepada
imam mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam
mengistinbatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam
buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi berijtihad
pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih
mazhabnya. Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (260=340 H), Abu Ja’far al-Tahawi
(230-321 H), dan al-Hasan bin al-Ziyad (w. 204 H)
dari kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-Abhari (289-375 H) dari
kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-Asfraini (344-406 H) dari kalangan
Syafi’iyah.
d.
Mujtahid
fi at-tarjih
Yaaitu mujtahid yang kegiatannya
bukan mengistinbatkan hukum tetapi sebatas memperbandingkan dengan berbagai
mazhab atau pendapat, dan memiliki kemampuan untuk men-tarjih atau memilih pendapat terkuat dari salah satu pendapat yang ada, dengan
memakai metode tarjih yang telah
dirumuskan oleh para ulama mujtahid
sebelumnya. Dengan metode itu, ia dapat melaporkan dimana kelemahan dalil yang
dipakai dan dimana keunggulannya.
[1]
Editor Tamu; Jalaluddin Rahmat “Ijtihad
dalam sorotan” Mizan, Jakarta,1992, h.108.
[2]
Hadis Muadz ibn Jabal.
[3]
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh,
(Jakarta : Kecana, 2017), h. 225-226.
[4]
Syahidin, Moral Dan Kognisi Islam,
(Bandung:Alfabeta,2009),h. 87-89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar