Flaming Pointer
Flaming Pointer
Flaming Pointer

Selasa, 10 Oktober 2017

Ikut lomba publiser

Dalam hembusan angin malam, dingin menerpa bersamaan  rinrik-rintik hujan mulai membasahi atap rumah. Meski begitu tak membuat perutku yang lapar menjadi kenyang. Sedari tadi aku menahan lapar, karena tak ada suatu makanan pun yang tersisa di kulkas. Perutku terus berbunyi dari awal hujan turun dan kini sudah tak bisa aku pendam lagi. Hendaklah aku pergi ke warung dengan jas hujan putih bergaris hitam tipis untuk membeli makan malam mengisi perutku yang kosong. Karena jarak rumah dengan rumah makan yang cukup jauh membuatku bergegas mempercepat langkah kakiku.
Prak,,pruk langkah kaki yang sedikit mengayun bersama genangan air. Memang hujan tak begitu lebat namun sedari sore hingga malam tak kunjung reda, itulah yang membuat banyaknya genangan air menghiasi jalan yang berlubang.
Masih berjalan dengan mengayun, memang butuh waktu sekitar 10 menit , sampailah aku dirumah makan dan memesan makanan.
Karena banyaknya pengunjung membuatku harus menunggu lama, apalagi dengan berdiri.  sebab tak ada lagi kursi yang tersisa.
Nafas terengah-engah, uraian rambut sedikit basah serta sandal yang basah kuyup dan tak berupa, membuat aku menjadi tontonan sejenak.  Saat aku sadar menjadi objek hendaklah aku pergi kekamar mandi terdekat untuk membersihkan kakiku, saat aku sampai di depan pintu tak sengaja aku terjegal pembatas pintu. Akibatnya  jidatku menempel pada pintudan tersa ngilu. Aku heran kenapa aku tak jatuh, setelah aku sadar ternyata ada seorang yang menarik tanganku. Dag, dig, dug malu bercampur dengan sakit aku mencoba memalingkan wajahku padanya. Rupanya dia seorang lelaki (sambil menatapku dan menjamuku dengan senyumannya).
"Terima kasih,"ujarku
"Sama-sama, tapi lain kali hati-hati, hari ini kamu beruntung karena masih bisa berdiri. Kalok tadi jatuh gimana?," Ujarnya sambil melepaskan genggaman.
"Iya, makasih,"jawabku malu.
Sambil tersenyum ia berkata "Jangan terimakasih terus, ya sudah lanjutin aktifitasmu, aku duluan ya".
"Iya,"jawabku lirih.
Selesai aku membersihkan kaki. Kembalilah aku di ruang tunggu menunggu antrian. Setelah kurang lebih 10 menit aku menunggu, tibalah giliranku. Dan tak disangka ternyata hanya tersisa ikan goreng, makanan yang paling aku tidak sukai. Kesal bercampur marah karena perjuanganku terbuang sia-sia dan tak ada hasilnya. Pulanglah aku dengan lesu, harapanku masih ada orang yang membuka warungnya atau seorang yang mau memberikan makanan kepadaku.
Kruik,,kruik,, bunyi perut yang semakin mengerutu. Berjalanlah aku dengan lemah, lesu, melihat kesana-kemari berharap ada sesuatu yang bisa aku makan.
Tuing,,tuing,,bunyi kentungan ala tukang somai keliling.
"Beli mang",teriakku keras.
"Iya neng," jawab mamang Odi sambil menghentikan laju sepedanya.
Larilah aku ditengah genangan air, karena senang. Hatiku serasa bagaikan mendapat voucher belanja.
"Jangan lari-lari atuh neng, beli berapa?,"ujar mamang.
"Iya mang,"dengan tersenyum, 7 ribu mang,"tambahku.
Sambil memberi somai ia berkata "ini, hati-hati jangan lati lagi nanti somainya jatuh".
"Sip mang, makasih," dengan memberikan uang.
Sampailah aku dirumah, dan langsung makan. Huah,,huah,,meskipun panas aku tetap melahapnya dengan nikmat. Hampir habis aku memakan, keringat bercampur air hujan membuatku semakin pengap dan haus. Aku tinggalkan somaiku diatas meja makan, untuk mengambil handuk dan minum. Hanya berkisar 2 menit somai yang aku tinggalkan habis tak tersisa, bahkan bungkus plastiknya pun tak ada. Bila yang memakan seorang manusia akan ada sisanya, dan itu tidak mungkin karena aku hanya sendiri di rumah. Lalu siapakah yang mengambilnya?"tanyaku dalam hati.
"Ataukah Orangtuaku sudah pulang, ah tidak pintu saja masih tertutup rapat. Lalu kemana perginya? Bila dimakan uni (nama kucing kesayangan ibuku) pasti berceceran dimana-dimana. Uni masih kecil dan aku pikir itu mustahil, mana kuat dia,"gerutuku dalam hati.
Karena penasaran aku mencari bekas atau jejak dari seorang pencuri somai itu mungkin masih tersisa, dari mulai ruang makan, hingga kamar dan kamar mandi aku jelajahi. Tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda akan kehadiran seorang pencuri dirumah. Lalu siapa?"tanyaku penasaran.
Hanya satu tempat yang belum aku lihat, itulah ruang kerja ayah. Bergegas aku menuju ke ruang kerja, belum sampai pada tujuanku, tapi aku berhenti dan tertuju pada beberapa jejak kaki dari pintu depan menuju lorong ke ruang makan. Aku melihatnya dengan begitu jeli, warnanya kecoklatan seperti kaki yang masuk kubangan sawah. Ketika aku telusuri jejak itu habis tepat dialas kaki menuju ruang makan. "Wah ini dia pencurinya,"ujarku lirih.
Kuambil sapu yang berdiri di dinding sebelah kiriku. Berjalan pelan dan waspada aku mengitri ruang kaman, dari mulai lemari sampai lorong meja aku tengoki. Tak pula ada hal yang mengejutkan.
Bingung bercampur cemas, ketika tak sengaja mataku tertuju pada jendela yang terbuka, dengan gemetar aku mencoba melihatnya. Namun tak ada siapapun, lekas aku tutup cendela itu dan kembali pada tujuanku. Berjalanlah aku menuju ruang kerja ayah. Ketika aku lihat ternyata pintunya sedikit terbuka, pelan dan pasti setiap langkah kakiku. Aku memeriksa satu persatu benda yang ada, dan tak lupa kamar mandi serta lorong meja, kursi dan rak buku. "Tak ada hal mencurigakan kecuali uni yang menatapku dengan tajam, aneh memang biasanya jam segini uni akan bersuara meong,,meong,,bila melihat seseorang. Hal itu wajar karena tepat jam makan malamnya. Tapi hari ini ia berbeda, mungkinkah dia yang memakannya. Tapi kandangnya masih tertutup rapat, itu yang membuatku merasa dia tak bersalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar